Mengatur Dual Use Technological innovation untuk Kepentingan Ekonomi
Penerapan twin use technology sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Ini karena sejak industrialisasi dimulai pada pertengahan 1970-an, sejumlah firma Indonesia telah mengadopsi teknologi tersebut.
Secara definisi, dual use technological know-how adalah perangkat keras, perangkat lunak dan teknologi yang dapat digunakan untuk kepentingan sipil dan militer. Industri dirgantara negeri ini sejak awal telah mengadopsi twin use technologies, baik berupa perangkat keras, perangkat lunak maupun teknologi.
Begitu pula industri elektronika pertahanan dan industri bahan peledak sudah menerapkan twin use technological innovation. Namun sayangnya belum diikuti dengan industri lainnya di bidang pertahanan.
Di masa Orde Baru, 10 BUMN yang tergabung dalam BUMN Industri Strategis (BUMNIS) diarahkan untuk menghasilkan produk-produk dengan target 80% pasar komersial dan 20% pasar pertahanan. Dari sana tergambar bahwa BUMNIS diarahkan untuk menguasai dan mengembangkan twin use technology sehingga bisnis mereka berkembang tanpa harus sepenuhnya tergantung pada belanja pemerintah.
Namun hingga Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) selaku pengelola BUMNIS dibubarkan pada 2002, kinerja keuangan 10 BUMNIS tidak sehat karena berbagai kesalahan tata kelola.
Merupakan hal yang wajar bagi industri pertahanan untuk mengadopsi dual use technological innovation. Sebab hal demikian telah lama diadopsi oleh industri pertahanan negara-negara lain.
Firma pertahanan yang juga memiliki portofolio produk komersial dalam jumlah besar seperti Boeing dan Airbus sebagian besar mengandalkan pendapatan dari pasar komersial lewat pemakaian twin use technological know-how.
Di sisi lain, banyak pula perusahaan pertahanan yang sebagian besarnya pendapatannya berasal dari sektor pertahanan memanfaatkan twin use technologies, seperti Lockheed Martin dan Dassault Aviation. Twin use know-how seperti komposit menawarkan keuntungan bagi industri dirgantara sebab selain dapat diaplikasikan pada pesawat tempur, juga bisa diterapkan pada pesawat komersial.
Selain produk akhir seperti komponen pesawat, twin use technological innovation mencakup pula permesinan dan perangkat lunak. Berbagai mesin Computerized Numerical Command (CNC) yang dipunyai oleh beberapa firma Indonesia, seperti buatan DMG Mori dan Cincinnati Milacron digolongkan sebagai twin use know-how, di mana pengguna mesin CNC harus menandatangani sejumlah dokumen sebelum membeli mesin tersebut.
Begitu juga dengan perangkat lunak berteknologi maju yang berguna membantu para insinyur untuk mendesain berbagai produk. Industri-industri yang mengadopsi permesinan dan perangkat lunak yang dikategorikan sebagai twin use engineering harus mempunyai close-user certificate yang diterbitkan oleh pemerintah negara produsen.
Dalam implementasi kebijakan pengadaan senjata dari luar negeri melalui application alih teknologi, saat ini tengah dilaksanakan beberapa kegiatan alih teknologi yang mengandung twin use technological know-how. Sebagai contoh adalah alih teknologi tentang radar AESA (lively electronically scan array) dalam method akuisisi jet tempur Rafale dari Prancis.
Teknologi radar AESA dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan navigasi penerbangan sipil, di mana saat ini pemakaian radar AESA untuk pengaturan lalu lintas udara hanya masalah waktu saja. Teknologi radar AESA juga salah satu teknologi yang Indonesia tidak memiliki akses, baik dari Amerika Serikat maupun Korea Selatan, dalam plan KFX/IFX.
System pengadaan kapal selam dengan alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) sebesar US$ 2,1 miliar bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendapatkan twin use know-how. Dengan komitmen Naval Team untuk membangun dua kapal selam di Indonesia apabila mendapatkan kontrak dari Kementerian Pertahanan, Indonesia mempunyai peluang untuk mendapatkan teknologi konstruksi kapal selam yang bersifat twin use.
Teknologi demikian di masa depan dapat diaplikasikan untuk membangun submersible tanpa awak yang dapat digunakan bagi kegiatan survei bawah air dan juga penyelamatan bawah air (submersible rescue program).
Pemanfaatan dual use know-how menjanjikan keuntungan finansial bagi industri pertahanan apabila dapat melihat peluang di pasar pertahanan dan komersial. Sejauh ini, pemanfaatan dual use technologies pada sektor industri pertahanan, baik spin on maupun spin off, baru terbatas pada sektor industri dirgantara, elektronika pertahanan dan industri bahan peledak.
Namun pemanfaatan demikian belum exceptional dari sisi ekonomi karena kinerja keuangan industri pertahanan BUMN masih tidak sesuai dengan harapan. Terkait dengan dual use technological innovation di Indonesia, terdapat beberapa isu kunci yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah maupun pelaku industri pertahanan.
Pertama, aturan hukum. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang lemah dalam aturan hukum mengenai teknologi maju. Begitu pula mengenai dual use technologies, negara ini tidak mempunyai aturan hukum tentang hal tersebut.
Sebagai akibatnya, secara langsung atau tidak langsung Indonesia agak sulit untuk mendapatkan akses terhadap dual use technology yang tergolong maju atau minimal dual use technologies yang diberikan kepada Indonesia hanya boleh digunakan untuk kepentingan komersial saja.
Dalam praktek selama ini, Indonesia hanya mengandalkan pada end-person certificate yang diterbitkan oleh negara pemilik teknologi untuk mengakses dual use technological innovation. Walaupun end-user certification penting bagi negara pemilik teknologi, akan tetapi Indonesia sebagai negara penerima teknologi tidak memiliki aturan hukum tentang dual use technological know-how, termasuk menjamin bahwa teknologi tersebut tidak akan ditransfer atau bocor ke pihak ketiga tanpa seizin negara pemilik teknologi.
Semestinya kebijakan pemerintah yang memaksakan transfer teknologi pada senjata yang diimpor dari luar negeri diikuti pula dengan eksistensi aturan hukum tentang twin use know-how. Adapun bentuk aturan hukum negligible adalah Peraturan Pemerintah berdasarkan pertimbangan bahwa isu twin use engineering tidak cukup hanya dengan Peraturan Menteri Pertahanan.
Kedua, peta jalan penguasaan twin use engineering. Selama ini penguasaan twin use technological innovation berjalan tanpa arah yang jelas dan hanya mengacu pada application akuisisi senjata yang ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan.
Pemerintah tidak mempunyai peta jalan penguasaan twin use engineering yang dapat menjadi panduan bagi industri pertahanan. Begitu pula dengan rencana pemanfaatan twin use technological innovation oleh industri pertahanan dalam jangka panjang, seperti pengembangan produk baru yang dibutuhkan oleh pasar pertahanan maupun komersial.
Dalam rangka memajukan industri pertahanan sekaligus mendorong nilai ekonomi penggunaan dual use technological know-how, pemerintah perlu menyusun peta jalan penguasaan twin use technologies untuk jangka waktu hingga 25 tahun ke depan. Langkah tersebut akan membantu industri pertahanan menentukan prioritas penguasaan teknologi ke depan sekaligus menyusun rencana bisnis jangka panjang yang lebih berorientasi pasar daripada sekedar membuat produk yang tidak laku di pasar.
Belum terlambat bagi Indonesia untuk memiliki peta jalan penguasaan twin use technological innovation sebagai upaya mengejar ketertinggalan dari industri pertahanan negara-negara lain di kawasan Indo Pasifik.
(miq/miq)